Hello, Januari 2017



Perbincangan dengan seorang teman minggu lalu masih membekas di pikiran saya. Saat itu Ia menceritakan pengalamannya bermeditasi di Bogor selama 10 hari. Ia tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan siapapun, tidak boleh menggunakan gadget, berbicara dengan peserta meditasi lainnya, tidak menonton TV, tidak mendengarkan musik favoritnya, apapun itu. Pokoknya hanya boleh meditasi, makan dan minum dengan batas yang dianjurkan.

Bagi saya, itu adalah cerita menarik. Saya tanya, “Apa kamu nggak bosen?”. Ia langsung menggeleng keras, tapi matanya masih mengerling semangat. “Nggak, sama sekali. Rasanya malah… apa ya. Ngerubah banget deh. Kamu harus coba, Kiza,” katanya. Saya mengangguk-angguk. Pikiran saya mengawang ke sebuah pemandangan bukit hijau nan sejuk, lalu tampak orang-orang di ruangan terbuka, berbusana panjang warna putih. Damai dan tentram.

Di depot makanan yang sedang ramai itu, kami melanjutkan obrolan tentang ‘mindfulness’, ‘attachment’, dan hal-hal Zen lain yang sedang dipopulerkan di kanal media. Derasnya arus informasi yang mengharuskan kita bergerak cepat memang kadang melelahkan. Di satu sisi, pergerakan itu bagus apabila progresif dan inventif. Dalam kata lain, menghasilkan sesuatu yang baru dan bermanfaat kedepannya. Di sisi lainnya, bukanlah tidak mungkin untuk merasa jenuh. Berpikir bahwa tiap hari harus tetap ‘update’ dan ‘alert’ dengan informasi-informasi baru kalau tidak mau ketinggalan. Untung-untung kalau informasinya menyenangkan. Kalau tidak? Misal, acara TV atau timeline Twitter yang penuh dengan berita perseteruan politik, kriminal, terorisme, kerusuhan, atau bencana alam. Sungguh kompleks. Memang semua itu adalah kenyataan yang sedang kita hadapi dan masalah yang harus diselesaikan, tapi kadang otak ini ingin berjalan pelan, menikmati keseharian dengan sederhana dan tenang.

“Yang terpenting itu benernya 'masa sekarang',” lanjut si teman. Pikiran saya langsung menuju ke tulisan-tulisan Haruki Murakami tentang ingatan atau memory. Apalagi kutipan ini:

“We’re so caught up in our everyday lives that events of the past are no longer in orbit around our minds. There are just too many things we have to think about everyday, too many new things we have to learn. But still, no matter how much time passes, no matter what takes place in the interim, there are some things we can never assign to oblivion, memories we can never rub away. They remain with us forever, like a touchstone.” (Haruki Murakami – Kafka on the Shore)

Saya setuju dengannya. Kadang kita terlalu lama bergelut dengan ingatan masa lalu yang kerap menimbulkan sesal, yang menurut teman saya adalah konsep ‘kemelekatan’. Kadang kita terlalu lama sibuk berandai-andai mengapa tidak begini atau mengapa tidak begitu DULU, agar sekarang tidak begini. Manusia memang banyak maunya ya. Dan itulah akibat dari terlalu banyak mengingat masa lalu, yang tanpa sadar telah mengkonsumsi separuh pikiran, badan dan jiwa kita. Yang membuat kita kurang menghargai masa sekarang. Masa yang sebenarnya merupakan berkah. Masa yang sebenarnya sederhana.

“Aku sekarang menerapkan teori 3 detik,” katanya. “Apa tuh,” tanggapku. Perbincangan ini makin menarik. “Aku selalu berhitung 1 sampai 3 tiap kali mau ngelakuin sesuatu. Misal pas bangun pagi. ‘Kan aku lagi suka lari juga ya. Nah itu pasti kerasa males ‘kan. Sebelum malesnya dateng, aku bilang ‘satu, dua, tiga…” dan cus! Aku langsung bangun dan berangkat lari,” jelasnya. Ia pun menerangkan bagaimana otak kita ‘sudah terprogram’ untuk hesitate setiap kali mau melakukan hal positif dan malah bersemangat untuk hal negatif. Dahi saya sempat mengernyit ketika sampai disitu. “Hal negatif gimana maksud kamu?” Ia menjelaskan lagi tapi pengertian saya masih samar-samar.

Lucunya, di hari ini saya baru mengerti apa yang dimaksudnya. Hal positif itu bisa dikatakan hal-hal ‘baik’, ‘wajar’, atau ‘kebiasaan’ menurut standar kita atau sekitar. Kalau memakai contoh teman saya, bangun pagi dan lari pagi adalah 2 hal di luar kebiasaannya. Maka itu, dianggapnya sebuah hal ‘negatif’ karena diluar standar atau lingkup dirinya. Otak dan badannya pun merasa tertantang untuk melakukan hal ‘negatif’ itu, apalagi ketika diberi waktu. Seperti yang kita tahu, terkadang waktu adalah momok. Apalagi kalau waktunya singkat. Makin menjadi momok karena ruang geraknya terbatas dan mengharuskan kita untuk cepat. Akhirnya diri ini mendapatkan stimulasi ‘diburu-buru’ dari percobaan menghitung tadi. Ya, sekarang saya mengerti apa maksudmu!

“Eh, tapi aku masih penasaran. Gimana sih untuk tetep konsen meditasi, nggak mikir apa-apa gitu?” tanyaku. Dia tertawa. “Wah itu emang susah banget, Kiza. Pas meditasi itu ‘kan kita disuruh konsentrasi sama nafas ya. Gitu aja terus selama 10 hari. Tapi lama-lama terbiasa kok. Enak kok, Kiza.” Mendengar itu, saya segera berbagi pengalaman ketika yoga di Sydney. Bagaimana saya selalu gagal saat disuruh memejamkan mata dan fokus pada nafas. Yang ada malah ingat hal-hal lainnya. Nafas bukan lagi hal yang penting.

***

Baru tiga hari saya coba mempraktekkan hal-hal yang dibagi teman saya. Tentang teori 3 detik, meditasi atau berkonsentrasi dengan nafas, dan menghargai masa sekarang. Memang masih 3 hari, belum seminggu, sebulan, 3 bulan atau setahun. Masih berupa sel kecil yang harus selalu diberi makan untuk berkembang. Baru tiga hari ini saya bangun dan langsung mensugesti diri dengan “Now or Never” setiap kali merasa kantuk, ingin balik tidur lagi. Dengan cepat saya memompa diri dengan berhitung satu, dua, tiga… dan HUP! Saya buka mata lebar-lebar dan duduk. Sempat pusing memang, tapi langsung saya tepis dengan memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya besar-besar. Begitu terus hingga hitungan ke-10. Rasanya otak langsung plong, keinginan untuk meraih handphone dan mengecek social media seperti biasanya pun jadi tidak terlalu ‘appealing’. Yang ada malah perasaan bersyukur karena masih bisa bangun dan merasa sehat. Kegiatan saya setelah itupun terasa lebih fokus, surprisingly. Saya pun menemukan waktu lagi untuk membaca novel dan menulis panjang seperti di postingan ini.

Saya juga merasa lebih bisa menghargai ‘the present’ dengan fokus pada apa yang sedang dilakukan saat itu dan seminim mungkin menghiraukan masa lalu serta masa depan. Memang susah, karena manusia sewajarnya berefleksi pada masa lalu dan waspada pada masa depan untuk masa sekarang yang lebih baik. Tapi apa salahnya juga menjalani masa sekarang dengan lebih sederhana dan …natural? Misal, tidak menginterupsi waktu sarapan dengan mengenyahkan handphone dari jangkauan dan benar-benar fokus pada santapan saat itu? Mungkin sarapan kali itu hanyalah sereal atau dua lembar roti dan kopi instan, bukanlah healthy bowl yang penuh dengan bongkahan muesli, buah-buahan, yoghurt apapun itu yang lagi sering muncul di Instagram Stories teman-teman. Mungkin sarapan kali itu jauh dari kata sangat sehat, bergizi, atau apalah, tapi kesempatan untuk bisa sarapan itulah sebenarnya yang mahal. Apalagi jika suasana sekitar mendukung. Rasanya penuh berkah.

Hal-hal kecil itulah yang sedang saya cermati berhari-hari ini. Memang tidak mudah untuk mengucap syukur ketika sedang terhimpit. Memang tidak mudah untuk sadar akan keindahan yang sederhana ketika pikiran negatif sedang di puncak.

Memang semuanya butuh waktu. Memang semuanya butuh kesabaran. Dan kita (ternyata) mempunyai kontrol untuk dua hal itu :)

Comments